RA Terpadu Syaujan "Mendidik Sepenuh Hati dengan Syar'i" | Jika Anak Dibesarkan dengan pujian,ia belajar menghargai | jika anak di besarkan dengan dorongan,ia belajar percaya diri | jika anak di besarkan dengan rasa aman,ia belajar menaruh kepercayaan

VIDEO Kegiatan RA SYAUJAN

Kamis, 19 April 2012

ANAK MASUK TK....


Perlukah Anak Masuk TK
 Layaknya tipikal perempuan berkeluarga yang tinggal di kota besar, Laura, 28 tahun, harus berjibaku demi memadukan perannya sebagai perempuan bekerja sekaligus istri dan ibu di rumah. Kurangnya waktu untuk menstimulasi perkembangan anaknya membuat perempuan yang bekerja di bidang riset pemasaran ini memutuskan untuk memasukkan Kiki, putranya yang baru berusia 2 tahun, ke TK. “Saya tidak punya cukup waktu untuk mendidik anak saya sendirian. Lagipula, saya pikir tidak ada salahnya. Kan lebih baik dia belajar daripada hanya bergaul dengan babysitter,” katanya.
Tentunya tidak sedikit ibu seperti Laura yang menyerahkan pendidikan usia dini sang anak kepada institusi yang dikenal sebagai Taman Kanak-Kanak (TK). Memasukkan anak ke TK mungkin bisa dilihat sebagai salah satu pilihan yang mudah. Di TK, anak sudah mendapatkan paket pembelajaran yang lengkap untuk membangun kecakapan sosial serta perkembangan kognitif. Apalagi banyak SD sekarang yang mengharapkan agar calon anak didiknya sudah punya kemampuan membaca dan menulis.
Tetapi, benarkah anak-anak di TK memerlukan pelajaran yang bersifat akademis?    
Menurut Dr. Reni-Akbar Hawadi, M.Psi, TK seharusnya lebih menekankan aspek bermain, bukan pada pelajaran yang bersifat skolastik seperti membaca, menulis dan berhitung. “Anak batita dan balita belum siap untuk menerima pelajaran-pelajaran seperti itu. Justru di usia ini kemampuan motorik yang harus dikembangkan, baik kasar maupun halus. Selain itu, perkembangan emosi dan sosialnya juga harus dibangun. Ini semua bisa diperoleh dengan cara bermain. Kalau mengajarkan cara membaca, menulis, atau berhitung, itu justru tugas guru kelas 1 SD, bukan guru TK,” begitu penjelasan Kepala Pusat Keberbakatan Fakultas Psikologi UI ini..
Pada dasarnya, kunci dari TK adalah untuk menyiapkan keseimbangan yang sehat antara memberikan ruang dan kesempatan yang cukup bagi anak untuk beraktivitas, termasuk membangun inisiatif dalam melakukan suatu kegiatan, serta belajar kecakapan sosial dan mematangkan emosi melalui permainan-permainan dalam kelompok.
Hanya, tak jarang TK salah kaprah dalam menerjemahkan kebutuhan SD terhadap calon murid. Sehingga, putra-putri kecil kita pun dijejali dengan pelajaran-pelajaran yang sifatnya akademis. Padahal kemampuan tiap-tiap anak berbeda. Anak yang memang tergolong cerdas dan cepat menyerap pelajaran mungkin tidak mengalami kesulitan, tapi pada kenyataannya, tidak sedikit pula balita yang belum benar-benar siap untuk sekedar pegang pensil dan mengukirkan huruf-huruf di atas kertas.
“Hendaknya, TK tidak memukul rata semua kemampuan murid. Karena pendidikan seharusnya disesuaikan dengan kapasitas masing-masing anak, bukan menyeragamkan pola pikir,” tutur Reni.
Lebih lanjut Reni menjelaskan bahwa TK adalah fondasi untuk menyiapkan anak agar siap belajar secara formal di tingkat SD. Persiapan ini tentunya tidak hanya melibatkan kecerdasan, tapi juga kematangan emosi serta kemampuan sosial. “Di TK, anak diharapkan sudah bisa mandiri dan bersedia menerima otoritas orang lain. Dengan kata lain, dia sudah tidak perlu lagi didampingi orang tua. Contoh, jika seorang balita sudah mampu menulis abjad dengan sempurna, tapi saat diantarkan masuk SD masih harus selalu ditemani ibunya, itu berarti dia belum matang secara emosional.”
Sesuaikan dengan Kebutuhan Anak
Kerap sebagai orang tua kita menasihati anak dengan berkata, “Kamu tidak perlu melakukan sesuatu hanya karena temanmu juga melakukannya.” Namun, saat dihadapkan pada pilihan untuk memasukkan anak ke TK, tampaknya hanya sedikit orang tua yang sungguh-sungguh mempraktikkan apa yang mereka khotbahkan.
Orang tua masa kini sangat takut apabila anaknya akan tertinggal. Hal ini sebenarnya bisa dipahami, apalagi tantangan globalisasi sudah ada di pelupuk mata. Bagaimanapun, orang tua yang berusaha sedini mungkin memasukkan anaknya ke program pembelajaran formal sebenarnya punya itikad baik. Para ahli pun setuju bahwa TK adalah tempat yang baik bagi anak untuk mengembangkan kecakapan sosial, serta sebagai fondasi untuk memasuki tahap pembelajaran berikutnya. Tetapi yang perlu diingat adalah reaksi anak ketika dihadapkan pada institusi ini.
“Saya adalah orang yang pro-TK. Sebaiknya anak diikutsertakan di TK agar dia bisa belajar berinteraksi. Tapi tetap saja TK bukan pilihan mutlak,” begitu kata Reni. TK memang cocok bagi orang tua bekerja yang tak sempat mengajar anaknya sendiri. Tetapi jika orang tuanya punya cukup waktu, sistem home schooling juga bisa dijadikan pilihan. Selain itu, orang tua bekerja juga masih punya altenatif lain, yakni menitipkan anak di daycare. “Karena yang terpenting adalah, apakah anak menikmati semua kegiatan itu,” Reni menambahkan.
Pengamatan Kecil
Apakah di TK anak Anda mendapatkan kesempatan belajar yang sesuai dengan kebutuhannya? Untuk mengetahui itu, lakukan sejumlah pengamatan kecil sebagai berikut:
1. Ketahui apa yang mereka pelajari. Bicaralah dengan kepala sekolah atau pihak yang berwenang mengenai hal ini. Bila memungkinkan, mintalah izin agar Anda diperbolehkan duduk di dalam kelas untuk mengamati kegiatan di sana. Misalnya, apa saja yang terjadi di dalam kelas? Berapa waktu yang diberikan kepada anak untuk menyelesaikan tugas di dalam kelas? Berapa banyak waktu bermain di luar ruangan? Apakah program pelajaran memberi kesempatan yang cukup bagi anak untuk berkembang sesuai dengan kemampuan dirinya? Selain itu, amati pula cara guru menyampaikan pelajaran. Sebagai contoh, Apakah para guru melibatkan anak-anak dalam percakapan? Apakah mereka mengizinkan anak untuk menciptakan permainan sendiri dengan mainan yang sederhana, seperi balok, serta inisiatif untuk bermain bersama teman? Ketiga hal tersebut sebenarnya penting untuk perkembangan kognitif dasar. Mendorong anak mengeluarkan pendapat akan membangun kosa kata serta kemampuan berpikir. Bermain dengan balok berarti mengenalkan anak terhadap konsep angka dan isi. Sementara bermain dengan kawan berarti membangun kecakapan sosial.
2. Waspadai bila pelajaran yang diberikan terstruktur secara berlebihan. TK yang baik akan menawarkan perpaduan antara aktivitas individual dengan kelompok. Tapi, setiap TK hendaknya fleksibel menyesuaikan kurikulum dengan situasi yang ada. Struktur pada dasarnya adalah baik. Namun anak tetap harus diberi kesempatan yang cukup luas untuk berpartisipasi sehingga pelajaran tidak berlangsung layaknya monolog semata. Misalnya, mungkin anak belum bisa menentukan buku apa yang harus dibaca, tapi saat pelajaran mendongeng, mereka harus diberi kesempatan untuk bertanya mengenai buku tersebut.
3. Amati bentuk pelajaran di dalam kelas. Perhatikan baik-baik. Apakah semua anak dipaksa untuk membubuhkan warna yang sama pada gambar gunung atau langit? Apakah semua anak harus menulis abjad yang sama setiap minggu? Termasuk anak-anak yang masih terengah-engah mengejar pelajaran maupun mereka yang sudah menguasai di luar kepala? Perlu diketahui. TK yang baik akan memberi ruang yang cukup bagi masing-masing anak untuk berkreasi. Tentunya anak-anak akan lebih termotivasi bila pelajaran yang diberikan merefleksikan minat dan kemampuan mereka sendiri. Apabila TK tempat anak Anda belajar tampak terlalu fokus pada keseragaman cara belajar, bicaralah dengan pihak kepala sekolah. Atau, Anda bisa memindahkan anak ke TK yang lebih memberi kebebasan pada murid untuk bersikap kreatif.
4. Cari tahu latar belakang para guru. Tanyakan dengan sopan mengenai latar belakang pendidikan serta pelatihan apa saja yang pernah diikuti para guru. Karena guru-guru yang diberi pelatihan mengenai pendidikan anak usia dini lebih tahu aktivitas apa saja yang cocok untuk anak

ANAK TK MASUK BIMBEL CALISTUNG



 
KBR68H - Para orangtua murid diminta untuk melapor ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan apabila ada Sekolah Dasar yang masih menerapkan tes baca, menulis dan berhitung dalam penerimaan siswa kelas 1. Tidak ada kewajiban bagi calon siswa untuk bisa membaca, menulis dan berhitung agar bisa diterima di sekolah dasar. Apa dampaknya jika tes calistung dipaksakan sejak dini? Simak perbincangan bersama Pemerhati Masalah Anak, Seto Mulyadi

Masih ada sekolah yang menerapkan ujian Calistung untuk anak-anak yang mau masuk SD?
Iya memang itu sangat memprihatinkan karena standar kompetensi pada anak-anak untuk membaca, menulis, dan menghitung itu sebetulnya diajarkan pada SD. Misalnya Standar Kompetensi Lulusan (SKL) untuk matematika itu kelas 1 SD akhir semester 1, akhir semester 1 itu anak cukup bisa menghitung 1-20. Jadi berarti semua memang baru dimulai pada waktu SD itupun dalam suasana gembira, memang sayang sekali kalau anak-anak harus dipaksa untuk menguasai kemampuan membaca, menulis, dan menghitung sebagai persyaratan untuk masuk ke sekolah dasar itu akan membuat anak-anak menjadi stres, tertekan, dan semacam bentuk pelanggaran pada hak anak kita.
Apa hubungannya nanti dengan mengurangi masa bermain anak ataukah nanti pada pertumbuhan psikologi?
Iya itu memang mengurangi masa bermain pada anak, karena dunia anak adalah dunia bermain. Jadi betapa TK itu adalah memang taman bermain, bukan sekolah taman kanak-kanak tapi namanya taman kanak-kanak dan kalau memang itu dipaksakan apalagi dengan cara yang keliru. Beberapa metode memang bisa membuktikan tetapi dengan pendekatan individual, tapi tidak dengan cara klasikal sebagaimana banyak terjadi pada TK kita. Akibatnya bukan hanya kehilangan waktu bermain tapi anak stres, bisa phobia terhadap sekolah ini tentu akan membuat permasalahan-permasalahan psikologis yang lebih mendalam lagi.
SD terutama yang berstandar internasional itu menerapkan tes Calistung, apakah mencari gampang atau mudahnya saja saat mengajarkan anak-anak saat masuk?
Masalahnya ada pada jumlah pendaftar yang melebihi kapasitas, sehingga seolah tidak diperlukan cara terbaik untuk menyeleksi. Bagaimana caranya, Kementerian Pendidikan Nasional sudah mempersyaratkan yang paling utama adalah usianya yag sudah lebih lanjut, katakanlah kebanyakan umur 6 tahun, ada yang 7 tahun itu yang diutamakan dulu, mereka harus secepatnya ditampung dalam SD. Bahwa nanti membaca, menulis dimulai waktu SD itupun caranya berdasarkan tema-tema itu sampai kelas 3 SD.
Ini zaman modern, jadi orang tua banyak yang bangga kalau anaknya yang TK sudah bisa membaca, bahasa Inggris. ini apa yang negatif bagi anak kalau dengan kondisi seperti ini?
Memang kalau bisa anak-anak diperkenalkan dulu pada bahasa ibunya, sehingga anak tahu konsep bahasa itu untuk komunikasi dan lancar. Tetapi kalau dari awal sudah diberikan, itupun kadang-kadang dengan cara yang keliru atau mungkin diajarkan oleh gurunya.
Menurut anda perlu tidak sanksi diberikan oleh Kemendiknas pada sekolah-sekolah yang melanggar aturan?
Iya sebetulnya kalau anak-anak dipaksakan itu menjawab tuntutan ataupun desakan orang tua. Kalau misalkan ada TK yang main semua lalu dibilang ah TK apa ini, kenapa tidak ada matematika, kenapa tidak ada bahasa Inggris.Seolah-olah orang tua banyak yang tanpa sadar melakukan tekanan kepada putra-putrinya, wah baru TK sudah bisa penjumlahan atau bahasa Inggris rasanya bangga sekali atau untuk supaya bisa masuk ke SD unggulan. Sebetulnya peraturannya, lebih ditujukan pada SD-nya jadi ada semacam pengawasan atau pelarangan, SD dilarang tes Calistung pada siswa yang akan masuk.
Kalau ada yang melakukan Calistung bisa melapor?
Iya betul. Jadi Dinas Pendidikan bisa mengambil tindakan yang tegas, dengan demikian para guru juga berusaha gembira karena bisa memberikan nuansa bermain lebih menyenangkan pada putra-putri didiknya.
Bagi sekolah tentu mereka memenuhi kebutuhan pasar juga ya karena ada tuntutan, banyak keluarga yang meminta agar diberikan pendidikan-pendidikan kelas tinggi akhirnya mereka mau tidak mau menerima juga begitu?
Iya betul. Jadi marilah kita kembalikan sekolah untuk anak bukan anak untuk sekolah, Kurikulum untuk anak bukan anak untuk kurikulum. Semua dilakukan demi kepentingan terbaik bagi anak-anak.
Tentang usia anak TK menjelang SD, pendidikan apa yang paling tepat bagi mereka?
Bermain. Pertama adalah gerakan motorik kasar dia bisa berlari, melompat, melempar bola, menendang, dan sebagainya. Jadi mohon sebetulnya taman kanak-kanak itu ada suatu areal yang cukup memadai, ada rumput hijau, ayunan, dan sebagainya. Karena pada dasarnya pada usia tersebut anak berpikir dengan gerakan-gerakannya, bukan disuruh duduk berjam-jam seperti penulis.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...